Sabtu, 18 Juni 2011

DESENTRALISASI PENDIDIKAN NASIONAL


DESENTRALISASI PENDIDIKAN NASIONAL
(Analisis terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam)

Oleh: Saruji
(Mahasiswa S2 PPs UIN Suska Riau 2011)

A.  Pendahuluan
            Desentralisasi sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 1999 setelah dikelurkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU-PD) dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan antara Pusat dan Pemerintah Daerah (UU-PKPD). Namun secara resmi  desentralisasi mulai diberlakukan pada tahun 2001. Tapi manuver politik yang begitu cepat pada masa reformasi membuat kedua undang-undang di atas disempurnakan dengan undang-undang yang baru yakni UU-PD nomor 32 tahun 2004 dan UU-PKPD nomor 33 tahun 2004.
            Dengan kehadiran kedua undang-undang di atas, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan inprovisasi dalam upaya membangun daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Sektor pendidikan yang merupakan salah satu pelayanan dasar yang akan mengalami perubahan secara mendasar, karena menyangkut disentralisasi fiskal, di mana porsi pemberian porsi yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan yang lebih besar di bidang pendidikan membawa sejumlah implikasi, seperti bidang administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan, dan sebagainya. Dan bagaimana pula dengan pendidikan Islam yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan—surau, majelis taklim, pesantren, dan madrasah—yang ada di Indonesia sebelum datang kaum penjajah memperkenalkan pendidikan modern pada ke-19 M yang keberadaannya sudah diterima dan memiliki basis yang kuat dalam kehidupan bangsa. Begitu pula pendidikan Islam semestinya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, karena pendidikan Islam merupakan sesuatu yang intergral dalam pendidikan Nasional.
            Untuk itu dalam pembahasan tulisan ini ingin melihat bagaimana pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah dikelurkan kedua undang-undang di atas dan bagaimana implikasinya terhadap pendidikan Islam.
B. Pengertian Desentralisasi Pendidikan
            Menurut Burnett e.al seperti dikutip M. Sirozi, desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunkan input pembelajaran sesuai dengan tuntunan sekolah dan komunitas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.[1]
            Sementara Abdul Halim,  mengartikan terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasakahan-permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan juga merupakan sebuah sistem manajemen dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan pendidikan  yang menekankan pada kebinekaan. [2]
                Selain itu menurut Sufyarman, desentralisasi pendidikan adalah sistem menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang dilatarbelakangi bahwa setiap daerah mempunyai sejarah sendiri, kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda dengan tentang keadaan dirinya, permasalahannya dan aspirasinya. Daerah berfungsi untuk menyusun rencana, memutuskan kebijakan, mengambil keputusan dan menentukan langkah-langkah pelaksanaan pendidikan daerah.[3]
                  Desentralisasi pendidikan juga diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya di bidang pendidikan, dengan tetap mengacu pada kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dalam pengertian ini, desentralisasi pendidikan akan mendorong tercapainya kemandirian dan rasa percaya diri pemerintah daerah yang pada gilirannya mereka akan berlomba meningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Sehingga desentralisai pendidikan merupakan sistim menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebinekaan.[4] Gagasan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa setiap daerah menegetahui sejarah, keadaan, kondisi, potensi, permasalahan dan asprasi daerahnya sendiri. Untuk itu daerah yang bersangkutan harus mampu merumuskan kebijakan  dan mengambil keputusan serta menemukan langkah-langkah pelaksanaannya.
                  Dengan demikian desentralisasi pendidikan dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepda daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan, beserta masyarakat, pengelola dan pengguna pendidikan itu sendiri namun harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagai bagain dari upaya peencapaian tujuan pembangunan nasional.
C.  Tujuan Desentralisasi Pendidikan
                  Pada dasarnya tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pelimpahan kewenangan yang kebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efesiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat).[5]
                  Di samping itu secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisai pendidikan, yaitu:
  1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerinah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik);
  2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah.[6]
                  Dari konsep di atas dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan yang pertama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah, sedangkan konsep kedua memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
                  Dengan demikian jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah stu faktor yang paling menentukan.
D. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan Nasional: Analisis UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Implikasinya  terhadap Pendidikan Islam
      1. Analisis Isi UU-PD Nomor 32 Tahun 2004 dan UU-PKPD Nomor 33  Tahun 2004
                  Sebelum otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia, secara konseptual pelaksanaan pendidikan nasional dirasakan memiliki kelemahan, yaitu (a) kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik (terpusat) dan serba seragam yang pada gilirannya mengabaikan keragaman realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah; (b) kebijakan dan  penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pemebelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.[7] Atau dengan kata lain pelaksanaan pendidikan secara terpusat (sentralistis) tidak bisa mengakomodir keberagaman daerah, keberagaman seklolah, serta keberagamaan peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan. 
                      Di samping itu beberapa ketimpangan dan kelemahan pendidikan yang dikelola secara sentralistis kelihatan pada pemberlakuan kurikuklum secara nasional, sampai dengan persanan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Misalnya, pusat sangat dominan dalam menentukan setiap keputusan proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru.  Gaji guru sekolah negeri (SLTP dan SLTA) ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, kecuali guru SD pengelolaanya dilaksanakan oleh propinsi. Dari segi dana luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing sekolah, diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah murid yang ada di daerah tersebut. Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun tingkat kemakmuran ekonomi tersebut.[8]
                      Memasuki Indonesia baru dengan gerakan reformasi  dan otonomi daerah, membawa pengaruh dunia pendidikan yang diimplementasikan dalam UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU nomor 32 tahun 2004 danut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota serta perimbangan perimbangan pusat dan daerah.[9]  
            Kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tersebut, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, pemerintah dituntut untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembanguan daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi pendidikan dilakukan karena seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah yang membawa implikasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta untuk memperhatikan keanekaragaman daerah.
                Dalam UU-PD pasal 14 ayat 1 diseebutkan bahwa ada 16 (enam belas) yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu: (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum, (e)  penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan; g)  penanggulangan masalah sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, (i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, (j) pengendalian lingkungan hidup, (k) pelayanan pertahanan, (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (n) pelayanan administrasi penanaman modal, (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.[10] Kecuali (a) politik luar negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, dan (f) agama.[11]
                Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi pendidikan, untuk itu dikeluarkanlah UU-PKPD Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang jelas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU-PKPD) pasal 2 ayat 1 bahwa “perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”[12]
              Dalam UU-PKPD disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah melipuputi pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Kemudaian dana perimbangan bagi hasil antara pusat dan daerah dapat dilihat  dari penerimaan pajak daerah yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 90% begitu pula bagi hasil yang berasal dari sumber daya alam (SDA) sebesar 80%.[13]
            Dari UU-PD di atas terlihat jelas bahwa salah satu urusan wajib pemerintah daerah adalah menyelenggarakan pendidikan, di mana pendidikan merupakan salah bidang yang disentralisasikan atau pemerintah pusat melimpahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Begitu pula UU-PKPD tampak jelas bahwa anggaran dana dalam pelaksanaan otonomi daerah termasuk di dalamnya disentralisasi pendidikan disediakan dana dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang berfungsi sebagai dana untuk pemerataan yang besarnya ditetapkan minimal 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DAU dalam suatu Daerah dialoksikan atas dasar cealh fiskal dan alokasi dasar. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri sipil Daerah. Proporsi DAU antara propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan dana perimbangan kedua daerah tersebut[14] yang biasanya dalam bentuk bloc grant dan Dana Alokasi Kusus (DAK) yang dialokasikan kepada Daerah tertentu  untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan fungsi yangvtealh ditetapkan dlam APBN. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dan pendamping dari APBD sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK kecuali daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tertentu [15] diserahkan kepada daerah  melalui dana perimbangan antara pusat dan daerah.
     2. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
            Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan mempersingkatt birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola pendidikan yang lebih memungkinkna tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan..
              Armida S. Alisjahbana[16] menyebutkan bahwa dalam wujud pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa kewenangan-kewenangan pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni sebagai berikut:
Komponen pendidikan
Kewenangan
Organisasi dan poses belajar
Mengajar
·     Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
·     Waktu belajar di sekolah.
·     Penentuan buku yang digunakan.
·     Kurikulum.
·     Metode pembelajaran.
Manajemen guru
·     Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
·     Memilih dan memberhentikan guru.
·     Menentukan gaji guru.
·     Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
·     Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan
·     Membuka atau menutup suatu sekolah.
·     Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
·     Definisi dari isi mata pelajaran.
·     Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya
·     Program pengembangan sekolah.
·     Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
·     Alokasi anggaran non-personnel.
·     Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.

           
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas dalam program school based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan dikontrol.[17] MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran sebagai berikut:
a)       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
b)      Pendukun (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
c)       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d)      Mediator antara pemerintah (eksekutif)  dan  legislatif dengan masyarakat.[18]
Selain itu salah satu upaya dalam menerapkan desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah dengan meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri dengan cara sebagai berikut:
a)  Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
          b)  Pelibatan Masyarakat
c)  Pemberdayaan Masyarakat
d)  Orientasi pada Kualitas
           e) Meniadakan Penyeragaman. [19]
               Namun dibalik itu semua bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daearah belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh Hasbullah antara lain:
a) Masalah Kurikulum
              Kondisi masyarakat Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga pendidikan jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase yang sangat kecil.[20]
b) Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
              SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, karena  SDM yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada beberapa tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat dari mantan camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik dengan peserta didik adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
c) Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
          Persolan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.[21] Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah—eksekutf danlegislatif—belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan.
d) Masalah Organisasi Kelembagaan
          Dalam hal kelembagaan kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
          Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan menengah.[22]
          Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara lain:
a)  Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
b)    Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
c)    Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan, keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar daerah.[23]
              Dengan demikian dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.[24]
            Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana prasarana yang kurang memadai, menajemen pendidikan yang belum optimal, di samping itu juga masih banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di daerah.
            Di antara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekurangan guru dan kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dan lain-lain. Merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
3. Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
            Pelaksanaan otonomi daerah telah menibulkan perubahan besar, bukan hanya dalam bidang pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional yang jelas posisinya karena termasuk kewenangan yang diserahlan oleh pusat ke daerah (didisentralisasikan). Sementara itu pendidikan Islam—madrasah dan pesantren—yang berada di bawah Kementerian Agama, sampai sekarang masih banyak diperdebatkan.
            Dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004, ada keinginan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam juga didisentralisasikan dalam artian pengelolaanya satu atap yaitu Dinas Pendidikan di daerah. Dengan cara pengelolaan tersebut diharapkan posisi pendidikan Islam tidak lagi terpinggirkan (marginal) terutama dalam aspek pembiayaan, ia akan masuk dalam anggaran APBD. Namun di satu sisi ada keinginan agar posisi pendidikan Islam tetap di bawah Kementerian Agama dengan didekonsentrasikan ke Kantor Wilayah Kementerian Agama propinsi setempat. Tentang pembiayaannya diharapka juga mendapatkan dari APBD. Hal ini mengingat bagaimanapun pendidikan Islam merupakan aset daerah yang berperan besar dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah, namun dalam realitas pengembangannya banyak yang sangat memprihatinkan. Seperti dikatakan Azyumardi Azra, bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak bisa dipungkiri dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang semestinya harus dibantu dan dipelihara. Tapi sayangnya, peran pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sangat minim.[25]
            Untuk menjawab semua persoalan di atas, maka Menteri Agama mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Nomor. MA/402/2000 pada tanggal 21 November 2000 tentang penyerahan kewenangan di bidang pendidikan agama dan keagamama pada sekolah umum dan madrasah diserahkan kepada daerah kabupaten/kota sesuai dengan asas desentralisasi pemerintah yang meliputi aspek-aspek:
a)      Operasional penyelenggaraan.
b)       Penjabaran kurikulum.
c)      Penyediaan tenaga dan kependidikan.
d)     Penyediaan saran dan prasarana.
e)      Penyediaan anggaran.[26]
            Sayangnya, sampai saat ini belum terdapat kesamaan visi dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam di daerah. Pihak pemerintah daerah (Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota) umumnya masih beranggapan bahwa pengelolaan pendidikan Islam bukanlah tanggungjawab mereka, tetapi menjadi tanggung jawab Kementerian Agama (pusat) sehingga tidak perlu ada penganggaran secara khusus.
            Sejatinya kebijakan pengelolaan pendidikan agama tidak dipisahkan dengan kebijakan pengelolaan pendidikan secara umum karena sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004.[27] Untuk itu pembiayaan pendidikan tidak boleh diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan dengan cara melakukan subsidi silang, imbas swadaya dan block grant. Subsisdi silang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menghindari timbulnya kesenjangan antara (madrasah daerah miskin dan daerah kaya. Imbas swadaya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong berkembangnya dan meningkatnya program-program yang menjadi unggulan pusat dan daerah. Block grant dapat diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas program-program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara berkompetisi.[28] Karena secara yuridis formal, salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daeah, yakni dengan memberikan kewenangan tertentu bagi daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan demi kesejahteraan/keselamatan semua.
            Di samping itu barangkali kemampuan tawar-menawarnya (bargaining)  dengan pemerintah daerah rendah dan jarang sekali terjadi komunikasi yang baik antara Kementerian Agama dengan pemerintah daerah menyangkut pembiayaan lembaga pendidikan yang menjadi binaannya. Paling-paling minta hanya sekedar bantuan, tetapi tidak teranggarkan secara khusus pada APBD.
            Oleh karena itu sudah saatnya dilakukan reposisi terhadap  lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai wujud perubahan sistem pendidikan sentralisasi menuju desentralisasi sebagai pengejawatahan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, dengan kebijakan sebagai berikut:
a)      Penyelenggaraan madrasah tetap dilakukan oleh masyatakat, beberapa hal mengenai penyelenggaraan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, terutama pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman tetap dikelola oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama).
b)      Pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam satu atap pengelolaannya yaitu membentuk Dinas Pendidikan. Kementerian Agama kabupaten/kota berfungsi sebagai tugas pengalihan dan tugas-tugas agama.[29]
            Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa implikasi desentralisasi pendidikan terhadap pendidikan Islam belum begitu signifikan, karena pembangunan pendidikan Islam belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah atau pemerintah kota sehingga tidak dianggarkan secara khusus dalam APBD nya. Dan masih beranggapan bahwa tanggung jawab untuk memajukan pendidikan Islam adalah menjadai tanggung jawab pemrintah pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Agama Republik Indonesia.
            Namun dengan demikian di era otonomi daerah dengan asas dekonsentrasi dan desentralisasi pendidikan, insan pada pendidikan Islam sedikit sedikit berlega karena mendapat perhatian dan kesataraan dengan insan  pada pendidikan umum dalam hal mendapatkan haknya. Hal ini nampak pada adanya pemeberian tunjangan isentif bagi para guru non PNS yang mengajar di madrasah mendapatkan, begitu pula para guru PNS Kementerian Agama yang mengajar di madrasah atau sekolah diberikan tunjangan kesra dan dari pemerintah daerah yang besarnya diberikan bervariasi sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah. Semua ini tidak pernah diterima oleh para guru pada era sebelunya (era sentralisasi pendidikan). Namun pemberian bantuan dalam bentuk bagunan pisik dari dana APBD belum begitu nampak jelas dan kalaupun ada tidak merata.
E. Kesimpulan
                  Desentralisasi pendidikan merupakan angin segar bagi dunia pendidikan, karena salah satu juan desentralisasi pendidikan adalah untuk menguangi campur tangan atau intervensi pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang semestinya bisa diputuskan dan dilaksnakan oleh unit di tataran bawah yakni pemerintah daerah. Sehingga dengan itu pendidikan bisa dirangcan dan dilaksanakan oleh masing-masing daerah yang ada di Indonesia sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Di samping itu manajeman pendidikan dapat dikelola oleh daerah sampai kepada masyarakat bahkan di sekolah dengan mengembangkan base school management (MBS). Tapi tentu saja setiap kebijakan yang dibuat tak lepas dari permsakahan di sana-sini, begitu pula dengan disentralisasi pendidikan di Indonesia tak terlapas dari plus-minusnya.
              Namun pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang selama ini dilaksanakan belum berdampak positif terhadap pendidikan Islam, di mana pendidikan Islam tidak mendapat porsi dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk membangun atau membantu operasional pendidikan Islam. Ironisnya pemerintah tidak mau tahu persoalan pendidikan Islam, karena hal itu dianggap sebagai urusan vertikan yakni Kementerian Agama. Padahal eksistensi pendidikan Islam di suatu daerah tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dan pembinaan akhlak spritual bangsa.
















DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Yogyakarta, Global Pustaka Utama, 2005.
Alisjahbana, Armida S., Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Bandung, Universitas Padjajaran, 2000.
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokrasi, Jakarta, Kompas, 2002.
Halim, Abdul, Bunga Rampai Manajemen Keungan Daerah, Yogyakarta, UPP AMP YPKN, 2010.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
http://sambasalim.com/pendidikan/desentralisasi-pendidikan.html, Diakses pada tanggal 22 April 2011 Jam 8.00 WIB.
http://www.desentralisasi _pendidikan.com, diakses pada tanggal 29 April 2011.
Muarif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta, Pinus, 2008.
Shaleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Sirozi, M., Politik Pendidikan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Sufyarman, M., Kapita selekta Manajemen Pendidikan , Bandung, Alfabeta, 2003.
Suwito, et.al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008.
Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Yogyakarta, Absolut, t.t.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Yogyakarta, Absolut, t.t.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


[1]M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 83.
[2]Abdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keungan Daerah, (Yogyakarta, UPP AMP YPKN, 2010), h. 15.
[3]M. Sufyarman, Kapita selekta Manajemen Pendidikan , (Bandung, Alfabeta, 2003), h. 83.
[4]Pasli Jalal, op.cit., h. 125.
[5]Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000), h. 2
[6]Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Global Pustaka Utama, 2005), h. 150.
[7]Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, ( Jakarta, Rajawali Pers, 2010), h. 2.
[8]Muarif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,, (Yogyakarta, Pinus, 2008), h. 16.
[9]Armida S. Alisjahbana, op.cit., h. 5-6
[10]UU Nomor 32, op.cit, pasal  14
[11]Ibid., Pasal 10.
[12]Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, (Yogyakarta, Absolut, t.t), h. 223.
[13]Secara terperinci dapat dilihat UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11, 12, 13, 14 dan 15.
[14]UU Nomor 33 Tahun 2004 pasal 27 dan 29.
[15]UU Nomor 33 Tahun 2004  pasal 39-41.
[16]Armida S. Alisjahbana, op.cit., h. 3
[17] School Base Management atau (Lihat Hasbullah, op,cit., h. 56)
[18]H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), h. 30.
[19]Hasbullah, op.cit., h. 56-63.
[20]Armida S. Alijahbana, op.cit., h. 8.
[21]Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[22]Hasbullah, op.cit, h. 20-29.
[23]http://www.desentralisasi _pendidikan.com, diakses tanggal 29 April 2011.
[24]Hasbullah, op.cit, 14-15.
[25]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokrasi, (Jakarta, Kompas, 2002), h. 8.
[26]Abdul Rahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 146.
[27]Suwito, et.al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), 298-299.
[28]Ibid., h. 300.
[29]Abdul Rahman Shaleh, op.cit., h. 148.